Thursday, June 11, 2015

The Black Theater

Berhubung The Black Theater sekarang sudah viral, gue mau menceritakan sedikit tentang background The Black Theater.

The Black Theater adalah sebuah novel yang kubuat ketika aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Novel itu kubuat begitu aku nonton film berjudul V For Vendetta. Dan bisa dilihat, aku adalah penggemar berat V For Vendetta karena filosofi yang diajarkan oleh V. Dari sanalah aku mulai berkhayal macam-macam setiap pulang sekolah sambil mendengarkan lagu-lagu Fort Minor.

Di dalam mobil, sambil mendengarkan lagu, aku sangat suka termenung melihat keluar jendela sambil berkhayal tentang sebuah cerita yang kuanggap keren. Saat itu, aku membayangkan kalau ada seorang gadis berusia 15 tahun (seusia denganku saat itu) yang memperjuangkan soal keadilan untuk manusia mutan yang dianggap sebagai monster.

Aku membayangkan hal itu sampai seminggu lebih hingga cerita itu rampung dengan sendirinya di dalam benakku. Setelah rampung, aku berencana untuk membuatkan sebuah komik (manga) karena saat itu aku hanya pintar menggambar saja. Iya, waktu itu aku nggak terpikir untuk menjadi seorang penulis karena aku sendiri seringnya baca komik, bukan baca novel.

Aku mencoba untuk membuat imajinasiku menjadi kenyataan. Visualisasi dari imajinasiku selalu berbentuk adegan film dibandingkan tulisan seperti sebuah novel. Sehingga, aku lebih prefer untuk menuangkannya dalam bentuk gambar.

Aku mulai membuat design 4 karakter utama, yaitu Varel, Avis, Tania, dan Gorgon. Keempat karakter ini memang memiliki nama yang aneh-aneh karena aku sengaja mencocok-cocokkan dengan nama ketiga sahabatku waktu itu, yaitu Veinal, Axel, Tika, dan Gorby. Yaah, namanya juga masih bocah, jadi nama yang terbentuk adalah nama-nama yang aneh. Hahahaha..

Setelah design karakternya jadi, akhirnya aku mulai membuat panel dan mencoba untuk menuangkan imajinasiku dalam bentuk manga. Sayangnya, karena pada dasarnya gambarku nggak bagus-bagus amat, serta membuat komik itu capek, jadilah komik The Black Theater terlantar begitu saja.

Meski begitu, imajinasi liarku tetap memaksaku untuk menuangkannya dalam bentuk sebuah karya. Dari sanalah, akhirnya aku memutuskan untuk menuliskannya daripada menggambarkannya. Aku mencoba menuangkan imajinasiku dalam bentuk tulisan. Dan jujur, untuk ukuran gadis yang suka baca komik, aku sama sekali nggak tau aturan dalam menulis novel.

Setiap malam aku meminjam laptop ayahku untuk menuliskan imajinasi liarku ini di Ms. Word. Dari beliau pulang, sampai waktu tidurku tiba, kuhabiskan untuk menulis novel The Black Theater versi pertama. Novel itu kucicil satu sampai dua chapter per malam hingga akhirnya rampung juga.

Dengan bangganya, aku menunjukkan hasil karyaku kepada ayahku yang selalu mendukung skill anaknya meski hasilnya memalukan diriku yang sudah berusia 23 tahun ini. Beliau membaca dan menyukainya. Langsung saja novel itu dicetak sendiri oleh ayahku dan hasilnya diberikan kepadaku.

Tau anaknya mulai menyukai dunia tulis menulis, ayahku memperlihatkan sebuah sayembara novel nasional yang terbuka untuk umum. Dalam rangka menguji kemampuanku, aku mencetak novelku dalam kertas A4 sebanyak lima-enam buah, dan mengirimkannya beserta softcopy-nya kepada panitia lomba.

Yha, tentu saja aku tidak menang. Novel pemula disandingkan dengan penulis professional. Tentu aku keok. Tapi, tak apa, yang penting itu jadi sebuah pelajaran dan pengalaman berharga untukku. Pernah mencoba mengikuti sayembara novel tingkat nasional yang terbuka untuk umum itu adalah sebuah tantangan yang berat, namun berharga.

Setelah itu, aku vacum menulis untuk sementara karena harus mengikuti UN dan persiapan masuk SMA. Sempat aku vacum selama setahun karena tidak ada tantangan baru untukku. Sampai pada kelas 2 SMA, aku mengikuti lomba menulis cerpen tingkat SMA. Level yang lebih rendah daripada sayembara novel buatan IKJ tersebut.

Di masa SMA-ku, aku diberi hadiah laptop atas kelulusan SMP-ku. Laptop pertamaku, laptop Dell berwarna biru. Keluaran terbaru Dell pada saat itu.

Untuk melampiaskan kesenanganku yang baru saja mendapat laptop baru, aku mulai merombak cerita The Black Theater yang menurutku agak norak. Sempat aku menulis beberapa halaman The Black Theater versi kedua, dan hasilnya kurang memuaskan bagiku.

Sepanjang masa SMA dan kuliahku, aku terus mencoba merombak novel The Black Theater agar menjadi sebuah cerita yang bisa dikonsumsi semua umur, bisa menjadi satu karya tulis yang valid dengan EYD yang benar, serta mencoba untuk membuat khayalanku ini terdengar lebih realistis di mata pembaca.

Akhirnya, The Black Theater memiliki banyak versi. Dan dari setiap versi, tak ada yang rampung karena aku merasa kurang cocok, kurang realistis, kurang bagus, dan masih banyak kekurangan lainnya. Di tambah, setiap aku menulis di Ms. Word, ide-ideku terasa tersedot dan hilang begitu saja.

Sampai akhirnya aku menemukan Wattpad beberapa hari yang lalu. Dan ternyata, aku menulis dengan sangat lancar di sana. Ideku mengalir deras saat menuliskannya. Dan jujur, aku lebih puas dengan hasil yang sekarang dibandingkan versi-versi sebelumnya. Aku menamakan versi ini sebagai 'The Black Theater: Wattpad Version', hahahahaha..

Dengan menggabungkan ide lama dan keahlian menulisku saat ini, rupanya aku mampu menciptakan sebuah cerita yang dapat dinikmati oleh target pembacaku. Aku senang dengan reaksi pembacaku yang rata-rata menyukai tulisanku ini. Aku jadi semakin semangat untuk menulis dan menjadikannya sebuah novel ketika sudah rampung nanti.

Tentu, yang dinovelkan tidak mentah-mentah aku jadikan novel. Mungkin akan ada adegan tambahan dan nama tokoh akan kuganti karena aku mendapat saran untuk mengganti nama karakternya.
--
Sudah, segitu aja yang bisa kushare~

Terima kasih sudah menyimak~

Selamat siang~

No comments:

Post a Comment