Thursday, July 2, 2015

Langit Tak Berawan (Bagian 1)

Langit tak berawan itu memerah dimakan senja. Bayangan panjang tubuhku mengikuti dari belakang. Meski tidak panas, matahari terasa berada tidak jauh dari atas kepala. Sinarnya menusuk mata, membuatku pusing.

Di sampingku, ia berjalan sambil memainkan langkahnya. Sepatu pantofel hitamnya bertelu-telu, beradu dengan aspal jalanan. Rok abu-abunya berkibar-kibar diterbangkan angin saat ia meloncat-loncat. Bibirnya tertutup rapat, menyenandungkan lagu yang tak kukenali.

"Awas, nanti jatuh." kataku padanya.

Ia terus bersenandung, tidak menggubris ucapanku barusan. Aku hanya bisa menghela nafas sambil melihat rambut bob hitamnya yang ikut berkibar seperti rok sekolahnya. Wajahnya nampak kekuningan tertimpa sinar matahari senja. Matanya yang cokelat tua tampak keemasan disiram cahaya kekuningan. Arin, namanya. Dia adalah juniorku di SMA, seorang gadis yang kusayang sebagai seorang kekasih, namun menganggapku sebagai kakak. Setiap sore, kami selalu berjalan pulang berdampingan karena rumah kami yang berdekatan. Aku sudah mengenalnya sejak ia masih duduk di bangku SD. Sudah cukup lama, hingga keluarga kami begitu dekat seperti saudara.

"Bang.." panggilnya. "Abang masih ingat dengan Hidayat kan?"

"Cowok yang kamu taksir itu? Ingat. Kenapa?"

"Dia baru saja putus dengan pacarnya. Apa yang harus kulakukan ya?"

Arin biasa menceritakan soal kisah percintaannya kepadaku. Meski terkadang aku cemburu melihatnya, tapi aku sendiri tidak berani mengutarakan perasaanku kepadanya. Yang bisa kulakukan hanyalah memendam perasaanku dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

"Ya tembak dia lah. Bilang kalau kamu suka padanya, terus kalian jadian, deh."

"Yeee, mana segampang itu." ia menggerutu. Aku hanya terkekeh menyembunyikan kecanggunganku.

"Abang sendiri kapan punya pacar? Aku sudah gonta-ganti pacar dari dulu, abang masih saja single."

"Ah, banyak komentar kamu. Abang mau fokus sama sekolah. Nanti pas kuliah baru mencari pacar." jawabku. "Kamu juga lah. Fokus dengan studimu.. nanti baru memikirkan soal pacaran."

"Aku fokus belajar, kok. Buktinya aku bisa dapat 80 di pelajaran Matematika." ucapnya sambil pamer. "Abang cari pacar lah. Aku terkadang sedih melihat abang sendirian begitu ketika aku sudah punya pacar."

Ucapannya yang terakhir terasa seperti menghujam hatiku. Ingin rasanya aku mengutarakan perasaanku saat ini, tetapi aku selalu merasa ini bukanlah saat yang tepat. Aku tidak mau mengganggu fokusnya dan tidak mau juga merusak apa yang kami miliki saat ini jika dia tidak merasakan hal yang sama.

"Tapi ngomong-ngomong, meski tidak punya pacar, abang sebenarnya suka pada siapa, sih? Pasti ada yang abang taksir kan?"

"Soal itu.. nggak ada."

"IHH MUKA ABANG MEMERAH!" serunya. "Pasti lagi memikirkan seseorang! Ayo, siapa? Ngaku!"

"Apaan sih! Bukan siapa-siapa, kok!" aku terpancing rayuannya. Mendadak, aku gelagapan dan merasa canggung. Aku bisa merasakan darah mengalir ke wajahku. 

"Kak Kristy, ya?! Atau Kak Sarah! Kak Sarah cantik, tuh!"

"Yee, orang Arab mana boleh pacaran sama non Arab."

"Ooh, jadi benar, ya, Kak Sarah?"

"Bukan!" seruku. "Abang lagi mau fokus belajar saja. Tidak mau pacaran dulu. Pacaran buat orang dewasa. Abang belum cukup dewasa untuk itu."

Mendadak, Arin terdiam. "Apa aku dewasa, Bang?"

"Nggak, kamu masih anak kecil. Kencing kamu belum lurus. Makanya, jangan pacaran terus." jawabku ketus.

"Ih, ditanya baik-baik jawabannya malah begitu! Huh!"

Karena gemas, aku menarik kepalanya lalu mengusal-usal rambut bob hitamnya sampai berantakan. Ia menggerutu sambil mencoba melepaskan kepalanya dari jepitan lengan kiriku. Akupun tertawa melihat kelakuannya yang berubah seperti anak kecil.


"Abang, aku mau jujur." ucapnya setelah kami terdiam cukup lama.

Jantungku mendadak berdebar kencang. "Ma-mau jujur soal apa?"

(Bersambung...)
--
-Veinal Anovyn-

No comments:

Post a Comment