Sunday, July 5, 2015

Langit Tak Berawan (Bagian 2)

Satu tahun ajaran sudah berlalu dan aku masih belum bisa menyatakan perasaanku pada Arin. Selama bertahun-tahun aku menahan rasa padanya, selama bertahun-tahun pula hatiku terluka melihatnya bersama orang lain. Kini, ia sudah bersama dengan pria baru. Andi namanya, salah seorang teman sekelasku di kelas dua SMA lalu.

Aku termenung memandangi buku latihan soal yang berada di hadapanku. Sudah satu jam aku duduk untuk latihan soal menjelang ujian nasional, tetapi hanya sepuluh soal yang terjawab olehku. Pikiranku tidak terlalu fokus. Di benakku hanya terbayang-bayang wajah Arin bersama Andi Sapto, seorang playboy terselubung di kelas 3C.

Jariku sibuk memutar-mutar pensil mekanik biruku. Beberapa kali pandanganku melayang pada ponsel yang berada di dekat lampu belajar. Sesekali aku mendecak, mengusap-usap rambutku dengan penuh rasa penyesalan.

--

"Bang, aku mau jujur."

"Jujur soal apa?"

"Aku sebenarnya mencari pacar bukan untuk hubungan. Tetapi aku hanya merasa kesepian. Rasanya, aku selalu haus perhatian dan kasih sayang dari seseorang. Yaa, Abang tahu lah, orang tuaku keduanya bekerja sejak aku masih kecil. Jarang sekali aku mendapat perhatian dari mereka. Merekapun juga jarang berada di rumah."

Aku terdiam mendengar pengakuan Arin. Baru kali ini aku melihatnya sendu, tidak seperti biasanya. Arin adalah seorang periang yang selalu tersenyum bahagia di manapun dan kapanpun. Tapi, siapa yang tahu bahwa di balik wajah dan lelucon jenakanya terdapat sesosok pribadi yang kesepian.

"Ngomong-ngomong, Bang, Andi itu single, nggak?" tanyanya tanpa menunggu jawaban dariku.

"Single, sih. Kenapa, memang?"

"Aku naksir dia, hehehe.."

"Mau Abang kenalin sama dia?"

"Beneran, Bang?"

"Iya. Dia teman sekelas Abang, kok. Gampang lah!" ucapku penuh percaya diri.

--

Kenangan setahun yang lalu tidak bisa kuabaikan. Selama tiga bulan mereka berdekatan, selama sembilan bulan mereka pacaran, dan selama dua bulan terakhir ini Arin menggalaui Andi. Aku mendengar kabar darinya bahwa Andi sudah mulai bosan dengan Arin. Ingin rasanya aku mengatakan hal tersebut pada Arin, tetapi hati ini tak tega.

Jemariku ragu-ragu menekan tombol ponselku. Nama Arin Widya Lestari sudah berada di layar ponselku. Yang perlu kulakukan hanyalah memulai percakapan dan menjelaskan keadaan yang selama ini ia keluhkan. Sayangnya, ibu jariku memilih untuk berhenti dan menekan opsi batal pada layar. Dengan cepat aku meletakkan ponselku kembali ke atas meja, lalu beranjak dari meja belajar menuju tempat tidur.

--

Keesokan paginya, di hari Minggu, aku berjalan menelusuri toko-toko Mall Kelapa Gading yang baru saja dibuka. Hari itu butuh udara segar, butuh suasana baru, sekedar melepas penat sehabis belajar semalam suntuk. Di dalam sendiri, aku berjalan menelusuri lantai satu mall. Satu per satu toko membuka gerai mereka. Ada yang baru saja membuka rolling door, ada yang sedang membenahi barang dagangan, ada yang sedang merapikan pakaian pada manekin etalase toko.

Suasana seperti ini yang sudah lama tidak kurasakan karena terlalu sibuk belajar. Fokusku tahun ini hanyalah dua; lulus ujian nasional dan masuk perguruan tinggi negeri. Dan karena hal ini pula, aku semakin jauh dari Arin sehingga obrolan kami terkadang tidak nyambung.

Di tengah-tengah menikmati kesendirianku, aku melihat seseorang yang sangat kukenali dari kejauhan. Rambutnya yang dipakaikan pomade hingga membentuk jambul yang aduhai, tubuhnya yang tegap dengan bentuk badan yang oke, serta selera pakaiannya yang elit dan bermerek.

'Bukannya itu Andi? Kenapa dia bersama Adisa?' batinku begitu mengenali sosok gadis bertubuh mungil di sampingnya. Jemari mereka saling bertaut satu sama lain. Suasana di antara mereka tergolong jauh dari sekedar akrab. 'Andi brengsek!' umpatku.

Tanganku segera memotret suasana romantis di antara Andi dan Adisa, salah satu teman sekelasku di 3B. Dengan cepat, aku langsung mentautkan gambar tersebut di dalam chat antara aku dan Arin. Namun, tubuhku mendadak membeku. Jantungku berdebar kencang, bayangan Arin menangis muncul di kepalaku. Sesuatu yang sangat kuhindari, membuatnya menangis.

Akupun bungkam. Menyimpan rahasia menyakitkan itu darinya, demi melindunginya.



(Bersambung...)
--
-Veinal Anovyn-

No comments:

Post a Comment